Mentari masih belum
juga menampakkan diri dari benteng-benteng beton sepanjang horizon di ufuk timur. Hanyalah sayap-sayap pijarnya yang mulai
menyerbu secara perlahan menuju ke arah langit di barat. Langit pun seolah
mati-matian mempertahankan warna biru mudanya dari pijar kilau emas keperakan
dari bola api yang terus merangsek dari negeri di timur sana.
Bus yang saya tumpangi dari Selcuk,
memasuki terminal bus utama dari kota
yang terletak di dua benua ini. Sebuah terminal yang luas dan tampak
membingungkan bagi saya. Apalagi ditambah dengan bahasa yang berbeda dan jarang
sekali ditemui orang yang bisa berbahasa Inggris. Jikalau ada pun, kemampuannya
sangat minim sekali.
![]() |
| Bus Terminal of Istanbul |
Singkat cerita, setelah
mati-matian mencoba berkomunikasi, akhirnya keluar juga saya dan 3 teman
seperjalanan dari terminal bus,
menuju jantung kota dengan sebuah free
shuttle mini bus. Dengan cepat pemandangan di luar jendela menjadi semakin
kota, ramai dengan orang-orang yang mulai hilir mudik melakukan aktivitasnya.
“Yusufpasa” sang sopir
berseru sambil menolehkan mukanya ke kami, “Metro Station” sambil menunjuk ke
sebuah stasiun kecil di tengah jalan raya.
“Ok, thank you. Bye”
kami berseru balas sambil melangkah keluar dari mini bus.
Kota yang
diilustrasikan, kota yang dideskripsikan, kota yang dinyanyikan, kota yang
digambarkan oleh banyak seniman dan pujangga dunia, Istanbul. This is it! Kota terakhir dari Jelajah
Turki saya.
Read more »
