Cuaca cerah, matahari
bersinar ceria menghunjamkan berkas-berkas hangat pijarnya. Hujan angin yang
konon melanda sehari sebelumnya tampak tinggallah cerita dan kenangan yang
cepat berlalu. Riak-riak landai nan tenang menina-bobokan sebagian besar
penumpang kapal yang seolah tertumpuk-tumpuk dari lambung kapal hingga ke atas
atap kapal.
Pandangan saya menebar,
menangkap begitu banyak kepala yang tergolek pasrah atas goncangan-goncangan
kecil kapal dan tak kalah banyak pula kepala yang terangguk-angguk mencoba
mencari tempat bersandar yang tak ada. Jendela-jendela mata hati yang tertutup,
berkelana dalam dunia angan, seolah menjanjikan perjalanan selama 3 jam
meninggalkan Teluk Jakarta dan menyusuri Laut Jawa menuju ke Pulau Harapan,
menjadi lebih singkat.
“Mas, bisa pinjam
koreknya?” tanya bapak yang duduk disebelah saya, meminjam korek untuk teman di
sebelahnya.
“Oh silahkan.” jawab
saya sembari menyodorkan pematik api saya.
Dan dari sana maka sebagian
besar dari setengah perjalanan, saya isi dengan berbincang-bincang dengan sang
bapak, yang ternyata adalah penduduk asli di Pulau Harapan. Lain kisah dari
yang bapak tersebut ceritakan, inilah cerita saya di Pulau Harapan.
Read more »